Selasa, 16 Agustus 2011

INSPIRASIKU MENULIS (Episode #1)

INSPIRASIKU MENULIS (Episode #1)
GARA-GARA AADC
Oleh: Nana Karlina
Tahun 2002   
Saya menyukai puisi sejak duduk di kelas dua SMP. Lebih tepatnya, saat marak-maraknya film “Ada Apa Dengan Cinta” yang dimainkan oleh Dian Sastro dan Nikolas Saputra. Ya, saya sangat terkesan dengan film itu. Saya menontonnya saat pemutaran ulang di layar televisi. Karena waktu itu, saya nggak tahu sama yang namanya bioskop. Karena di desa saya memang nggak ada bioskop, yang ada hanya layar tancap. Kalau pun mau nonton ke bioskop harus pergi ke kota.
Iya, setelah nonton film itu, kecintaan saya pada puisi berkobar-kobar. Saya sempat bermimpi ingin menjadi penyair yang bisa mendeklamasikan puisinya dengan menawan. Saya terus terbayang-bayang dengan cerita yang ada dalam film itu. Tentang karakter tokoh Cinta dan karakter tokoh Rangga. Sampai akhirnya mereka berdua jatuh cinta. Apalagi saat  puisi Rangga jadi pemenang lomba di sekolahnya, rasanya saya juga ingin sekali bisa bikin puisi. Yah, sangat ingin.
Kulari ke hutan
Kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai
Kemudian teriakku
Sepi, sepi dan sendiri aku benci!
Aku ingin binger
Aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat
Enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga bila kusendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh.
Ada malaikat menyulam jarring laba-laba belang di tembok karton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya
Biar terdera?
Atau aku harus lari ke hutan
Belok ke pantai?
Bait puisi itu hingga saat ini masih tetap mempunyai tempat tersendiri di hati saya. Saya begitu terkagum-kagum ketika melihat  adegan Cinta bacain puisinya Rangga di sebuah Kafe. Dia juga melagukan puisi Rangga tersebut. Karena itu, setiap larik puisi yang Cinta bacakan dalam adegan film itu, saya berusaha keras untuk mengingatnya. Sejak itulah saya terinspirasi menulis puisi. Yah, sejak itu saya terinspirasi menulis puisi.
Kegandrungan terhadap puisi ini berlanjut saat saya dan teman-teman sekelas mendapat tugas dari guru Bahasa Indonesia kami untuk membacakan salah satu puisi karangan siapa saja di depan kelas. Saya begitu bersemangat. Saat itu, puisi yang saya bacakan adalah puisinya Chairil Anwar yang berjudul “AKU.”
Dengan semangat buncah karena saking cintanya terhadap puisi, membuat saya tak sabar menunggu giliran saya dipanggil. Meski perasaan grogi menggelayuti, namun hasrat untuk meniru gaya Dian Sastro baca puisi lebih besar ketimbang rasa grogi itu.
Aku
Karya: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau!
Saya membacakannya seolah-olah saya lah penyair nomor satu yang terbagus di kelas itu. Sombong memang. Namun mungkin itu lah efek dari keobsesian saya. Obsesi ingin seperti Dian Sastro.
Walau pun saya telah membacakan puisi dengan totalitas yang “menurut saya” maksimal, namun tidak serta merta membuat nilai Bahasa Indonesia saya paling tinggi di kelas. Semuanya biasa-biasa saja.
&&&
Tahun 2004
Berlanjut hingga saya SMA. Saat itu saya dan teman-teman sekelas juga mendapatkan tugas yang sama oleh guru Bahasa Indonesia kami, yaitu membacakan puisi. Kali ini saya memilih puisi dari suatu majalah bekas yang saya beli, bukan puisi dari penyair terkenal. Puisi yang saya bacakan waktu itu adalah puisi karangan Rizki Pradana dengan judul “Contemplation For Love”. Alasan dasarnya saya memilih puisi ini adalah karena makna puisi ini sangat sesuai dengan kondisi hati saya saat itu, yaitu tentang patah hati. Kebetulan saat itu saya memang lagi patah hati. Dan kebetulan pula orang yang mematahkan hati saya itu berada sekelas dengan saya, jadi saya ingin dia merasakan pilunya hati saya saat itu.
Kering sudah mata air yang aliri sungai cinta
Menguap di antara sakit yang terasa
Tinggal kenangan cinta
Tak ada lagi rasa
Seandainya masih ada di hati
Hanya untuk Sang Maha Pecinta
Dimana cintaku terbalaskan
Bahkan, lebih dari yang kuberikan
Iya, begitulah. Jadi ceritanya tuh, tuh cowok pernah nembak saya. Ee … pas udah jadian, saya malah dia cuekin. Saya malu deketin dia duluan buat nanya sebab musababnya. Jadi saya tulis aja di sebuah buku dan saya kasih buku itu ke dia. Pas besoknya, dia nitipin buku saya itu ke teman saya buat dikasiin ke saya. Yang isinya tuh ngajak putus. Saya terpukul dong. Alasan dia sih karena ada orang yang nggak suka sama hubungan kami. Tapi belakangan saya tahu kalau dia tuh sebenernya udah punya pacar, yaitu Kakak kelas kami sendiri. Iya, jadinya dia itu brondong. Jadi intinya, dia nembak saya tuh cuma sebagai pelampiasan aja karena dia lagi ribut sama ceweknya. Jahat banget kan? Iya, jahat banget. Sampai-sampai saya nggak mau negur dia sampai kelas tiga. Gak baik sih sebenernya kayak gitu, tapi hati saya udah terlanjur sakit banget digituin.
Oke lanjut ke puisi. Setelah saya bacain tuh puisi di depan kelas, saya langsung diberi komentar sama Bu Ade, guru Bahasa Indonesia kami.
“Intonasi kamu sih bagus. Penjiwaannya dapet. Tapi kamu baca puisi kayak orang lagi ngomong sama orang.”
“Ya iya lah Bu, emang saya mau numpahin perasaan sakit hati saya sama dia.” Bisik hati saya sembari melirik orang yang dah nyakitin saya.
&&&
Tahun 2007
 Nah, terus saya naik ke kelas 2, 3 sampai akhirnya saya kuliah. Saya masih suka nulis puisi. Cuma pas lagi galau aja. Ya, nulis puisi abal-abal aja, amburadul. Karena memang saya nulisnya suka-suka aja.
Sampai suatu ketika saya mendengar kabar burung bahwa ada sebuah novel spektakuler yang berjudul “Ayat-Ayat Cinta.” Penasaran dengan desas desus yang beredar, maka saya langsung meluncur ke toko buku mencari novel itu. Dan akhirnya dapat.
Maka jadilah novel itu merupakan novel perdana yang saya baca. Ya, saya memang tak terlampau suka membaca. Lebih tepatnya, emang nggak suka baca. Seumur-umur, baru waktu kuliah itu pertama kali saya baca novel. Pernah sih beberapa kali liat cerpen di majalah. Tapi, tak pernah sampai habis saya baca. Saat itu, sempat terlintas di benak saya kalau suatu saat nanti saya ingin cerpen saya yang nangkring di sana. Namun saat itu, saya nggak tahu menahu gimana caranya nulis cerpen yang baik dan benar. Dan nggak pernah nyoba juga menuliskannya. Jadi gimana? Ya saya nggak nulis.
 Kembali ke novel “Ayat-Ayat Cinta”. Awalnya saya baca sih biasa aja. Cuma saya masih terus aja baca, soalnya penasaran sama kabar burung itu. Apa benar novel ini bagus? Kalau benar, bagusnya di mana?
Oleh karena itu, setiap hari saya coba baca novel itu biar cepat selesai. Ternyata benaran keren. Saya begitu terkagum-kagum. Awalnya saya kagum sama tokoh-tokohnya. Sama si Fahri yang baik banget. Sama si Aisyah yang jelita dan sholehah. Sama si Maria, gadis Kristen koptik yang suka dengan Al-Qur’an dan jatuh cinta sama si Fahri. Dengan Nurul, yang terlambat menyatakan perasaannya sama si Fahri sehingga bikin cerita itu menguras air mata saya sampai ber-ember-ember (lebay). Ya, sejak itu saya jadi suka baca novel. Dan sejak itu pula, terbersit keinginan untuk menulis novel.  
Dan setelah “Ayat-Ayat Cinta”, kabar burung itu kembali beredar. Sebuah novel yang juga bagus adalah novel “Laskar Pelangi”nya Andrea Hirata. Saya semangat banget nyarinya dan memboyongnya ke rumah. Baca Novel ini saya agak-agak gak nyambung. Tapi saya coba lagi baca pelan-pelan sampai nyambung. Waw, iya, ternyata amazing! Nih novel juga kereenn.
&&&
Tahun 2008
Nah, terus ceritanya berlanjut saat Uda saya pulang dari kota Padang dengan membawa laptop yang dibelinya beberapa waktu sebelumnya untuk mempermudah pengetikan skripsinya. Saya keranjingan sama laptop itu. Karena itu saya kotak katik deh isinya. Ternyata di sana ada cepen bikinan Uda saya sendiri. Nah, saya baca. Terus, terbersit lagi sesuatu di benak saya.
“Ah, nulis cerpen gini mah, aku pun bisa.” Begitu bisik hati saya. Saya emang orangnya nggak mau kalah sama Uda saya. Apa yang Uda saya bisa lakuin, saya juga harus bisa.
Nah, jadilah saya latihan bikin cerpen di laptop itu sekalian belajar ngetik 10 jari. Tema yang saya angkat dalam nulis cerpen waktu itu adalah tentang kisah nyata seorang gadis nasrani yang masuk islam. Saat itu dia dimusuhi keluarganya dan dikucilkan. Namun teman-teman rohis kampus saya dengan senang hati membantunya. Saya mengetahui cerita itu dari kakak tingkat saya saat kami sedang mentoring agama. Nah, maka mulailah saya berkisah dengan laptop itu.
Dengan niat ingin buktiin ke Uda kalau saya juga bisa membuat apa yang dia buat dan dengan niat ingin latihan ngetik 10 jari, maka tanpa disangka-sangka, jadilah cepen itu. Dan cerpen itu merupakan cerpen perdana yang saya buat. Uda sempat kaget karena saya nulisnya cuma dalam waktu kira-kira dua jam. Uda mulai membacanya. Dia hanya diam saja dan berkata,
“Cepat nian kau nulisnya? Uda aja bikin cerpen satu bulan.”
Ah, karena diberi komentar begitu, semangat nulis saya buncah. Saya mulai nulis-nulis nggak jelas. Ya, yang penting ada tulisan karya saya. 
to be continue ....
Sengeti, 16 Agustus 2011

Minggu, 14 Agustus 2011

MEMORI WISATA KE TANGKUBAN PERAHU PADA APRIL 2009


BERWISATA KE TANGKUBAN PERAHU
Oleh: Nana Karlina
Perjalanan ke Tangkuban Perahu
Siang itu, setelah melakukan studi banding di kampus ITB, kami langsung bersiap untuk berwisata ke Tangkuban Perahu. Betapa riang hatiku ketika bus mulai menderum dan siap membawa kami berwisata. Di perjalanan, tak lupa kami membeli nasi bungkus untuk makan siang.
Bus masih merangkak, kali ini melewati pendakian. Kaca bis kami mengembun, gerimis tipis menyelimuti bumi. Bis terus melaju menuju ke daerah perbukitan nan sejuk dan rimbun. Aku dan seisi bus yang berisi temanku dan dua orang dosen, begitu menikmati perjalanan ini. Inilah saatnya kami refresing menghilangkan sisa-sia penat perjalanan selama 2 hari 2 malam kemarin dari Jambi ke Bandung.
Tak berapa lama, kami telah tiba di suatu tempat. Tempat ini, lebih semacam terminal dimana bis bisa parkir. Ada beberapa warung kecil di sana sini. Untuk melihat pemandangan indah di Tangkuban Perahu, kami harus naik mobil khusus angkutan pariwisata Tangkuban Perahu yang telah disediakan.
Para penjual syal dan cinderamata mulai bersiliweran mendekati kami ketika kami mulai turun dari bis. Berbagai corak dan warna syal pun ditawarkan kepada kami. Pada ujung syal itu terdapat bordiran yang bertuliskan: Tangkuban Perahu. Beberapa pernak-pernik yang lain pun juga ditawarkan, seperti gantungan kunci, celetuk, gelang, dan kalung yang berlogokan: Tangkuban Perahu. Aku membeli celetuknya. Aku pikir, Ayah pasti senang aku belikan itu.
Di terminal inilah kami makan siang, sebelum nanti kami memasuki tempat pariwisata Tangkuban Perahu. Ada sebuah pendopo tua kusam yang luas di terminal ini. Kami memilih tempat itu untuk makan siang. Nasi bungkus yang tadi dibeli oleh penanggungjawab konsumsi pun mulai dibagikan. Penjual air minum dan penyewa tikar mulai mendekati kami. Pendopo itu memang tak ada meja untuk kami duduki. Jadi, perlu tikar untuk duduk lesehan supaya pakaian kami tidak kotor. Tapi kami tak menyewanya, karena kami lebih memilih duduk di tangga-tangganya yang lumayan bersih untuk makan siang.
                                        Di pendopo saat makan siang
Setelah makan dan perut terasa sudah kenyang, kami mulai bersiap-siap menuju tempat pariwisata Tangkuban Perahu. Mobil-mobil carteran bertulis Tangkuban Perahu pun mulai bersileweran. Ada yang sedang menurunkan penumpang, ada juga yang sedang menunggu penumpang. Kami mulai memencar berkelompok-kelompok memenuhi kursi-kursi pada mobil itu. Dan … lets go! Kami siap meluncur.
                                              Mobil Pariwisata Tangkuban Perahu
Angin dingin dan tempias gerimis tipis mulai menaikkan bulu romaku. Aku bersidekap. Mobil itu memang mobil terbuka. Tak ada pintu kecuali untuk sopir. Jendelanya pun tak ada. Jadi udara dingin benar-benar leluasa membelai-belai tubuh kami. Gggrrr dingiinnn….
Dan …
Setelah beberapa saat, sampailah kami di kawasan Tangkuban Perahu. Pemandangan yang memanjakan mata mulai menyapa kami. Bukit-bukit hijau tinggi menjulang berdiri gagah menyambut kedatangan kami. Langit sedikit berkabut. Jalan-jalan basah oleh gerimis tipis. Kami mulai berjalan-jalan sambil clingak-clinguk melihat pemandangan yang tak pernah kami lihat sebelumnya, dan …
Waw … Amazing …!!! Aku terkesima.
Sebuah kawah besar seperti kuali raksasa memamerkan keindahannya di depan mata kami. Inilah Tangkuban Perahu. Aku heran, kenapa gunung ini dinamakan Tangkuban Perahu? Sementara tak ada satu pun perahu yang kulihat di tempat ini?
Pemandangan yang begitu eksotis. Pagar-pagar kayu, bukit-bukit, kawah berbentuk kuali raksasa, jalanan basah, tanah-tanah batu kapur, semua kombinasi ini terlihat bagai lukisan, dan aku sedang berada di dalamnya. So beautiful! Amazing! Nice!
Maka tanpa banyak ba bi bu, dengan segera kami mengabadikan pemandangan apik ini dengan jepretan kamera. Kami memang sedikit narsis dan norak. Apalagi saat berfoto. Tapi biarlah norak. Yang penting happy, hehe.
         
        

                                          Pasar Tangkuban Perahu
Kawah Domas
Awalnya, kami hanya iseng berjalan-jalan mencari view yang cocok untuk background foto kami. Tanpa sadar, kami bertiga mengikuti sebuah rombongan kecil teman kami. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa kami telah memasuki kawasan hutan.
“Kita mau kemana sih?” tanyaku yang belum sepenuhnya paham, mau kemanakah rombongan kecil ini?
“Itu, katanya di bawah itu ada kawah. Kita mau ke sana.”
“O … bagus nggak tempatnya?” tanyaku yang tak tahu.
“Wuiss … bagus …!! Makanya kita harus ke sana melihatnya. Kebetulan udah di sini, kan rugi kalau nggak ke sana.” Kata salah satu temanku dari rombongan antusias.
“Trus, dari mana kamu tahu kalau di sana ada kawah yang bagus?” tanyaku agak penasaran.
“Tadi orang sini yang bilang.”
“Ooo.” Aku mengangguk kecil.
Tanpa pikir panjang, kami pun menyetujui ajakan teman kami itu. Kami berjalan memasuki hutan. Jalan-jalannya menurun. Kami melewati anak-anak tangga dari tanah. Di sisi kiri dan kanan kami adalah rerimbunan pohon. Sejujurnya, aku takut dengan perjalanan ini.
“Kawahnya dimana sih? Jauh ya?” tanyaku was-was. Aku takut tidak bisa pulang nanti.
“Dekat kok, tuh liat, 4 km.” Jawab temanku bernama Kholis sambil menunjuk tanda panah kayu yang tertempel disebilah kayu.
4 km? Bukankah itu jauh? Jika jalannya mulus sih tak apa-apa. Ini menuruni anak tangga tanah yang lebar-lebar. Aku sangsi.
“Jauh nggak? Kita pulang aja yuk?” kataku pada kedua temanku Kiki dan Rindu.
“Nggak jauh kok, bagus tempatnya, nyesel kalo nggak lihat.” Bujuk kholis lagi.
Akhirnya, aku pun setuju karena kedua temanku: Kiki dan Rindu juga bersih keras ingin ke sana.
Satu per satu anak tangga tanah berukuran besar pun kami lewati. Kakiku mulai terasa lelah, terlebih aku was-was kalau-kalau nanti kami tak bisa pulang. Baru separuh anak tangga tanah yang kami turuni, tapi aku sudah kecapekan. Apalagi baliknya nanti? Yang harus mendaki? Aku benar-benar sangsi dengan perjalanan ini.
“Masih jauh ya? Ini kita jalan sudah jauh loh?” aku mencoba bertanya lagi. Aku takut tidak bisa pulang. Lagi pula, kami belum bilang ke dosen kami kalau kami ke kawah ini.
“Dekat lagi kok.” Temanku kembali membujuk.
Aku pun kemudian pasrah. Tak ingin lagi mengeluh dan bertanya jauh tidaknya kawah Domas Yang jelas saat itu aku sudah merasa capek. Jika nanti aku pingsan, itu salah teman-teman, karena tak mau mendengar aku minta pulang.
Dua kali kami melewati persimpangan. Temanku dengan yakinnya mengambil keputusan pada arah mana kami harus jalan. Aku masih ikut saja. Bersunggut-sunggut sendiri kapankah sampainya?
***
Akhirnya, teman-temanku yang lain pun mulai kelelahan. Tapi tetap saja, mereka masih bersih keras ingin menyelesaikan perjalanan ini. Kepalang tanggung katanya.
Di tengah perjalanan kami menemukan sebuah warung. Di warung itu lah kami beristirahat dan sejenak meregangkan otot. Kami membeli minum dan bertanya pada penjual warung,
“Mang, Kawah Doma di mana ya?” tanyaku yang sambil mengatur nafas. Udara yang keluar dari mulutku mengepul.
“O … ini dekat lagi kok dari sini Neng. Ini turun sedikit lagi sampai.” Jawabnya berlogat sunda sambil menunjuk-nunjuk jalan menurun.
Kami pun mulai optimis. Sedikit lagi sampai. Sebentar saja kami beristirahat, setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan. Dan tak lama kemudian …
Taraaaaaaa …!!! Terlihat sepotong kecil papan kayu bertuliskan : KAWAH DOMAS.
Kami pun dengan tidak sabar memasukinya. Dan ….
Waw … Amazing …!!!
Yang terlihat oleh kami adalah sebuah kawah belerang, dimana terdapat asap-asap kecil di sana sini. Asap itu adalah efek dari beberapa air belerang yang memanas, bahkan ada juga yang mendidih. Tanah yang kami injak adalah belerang putih kekuning-kuningan.
              
   
                                                               Kawah Domas
Aku dan teman-teman rombongan
Ajaib!
Seketika rasa lelah yang menggelayuti kaki kami hilang. Yang tertinggal hanyalah rasa senang karena kami telah berhasil menemukan kawah ini tanpa seorang pun guide. Dan tak mau membuang waktu, jepretan kamera pun mulai berkelap-kelip. Seorang temanku membasuh mukanya dengan air belerang yang mengalir hangat-hangat kuku. Konon, air belerang bisa menghilangkan jerawat yang bertimbulan di kulit wajah. Kebetulan temanku itu ada beberapa jerawat di wajahnya, hingga dia tak mau menyia-nyiakan air belerang yang mujarab itu. Sementara aku, mulai mengisi botol minumanku dengan air belerang yang mengalir langsung dari mata airnya. Rencananya, air belerang itu ingin kubawa pulang sebagai oleh-oleh dari kawah Doma. ^__^

Sengeti, 01 Juni 2011

Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba menulis Kartini Indonesia yang diselenggarakan oleh HONDA pada bulan April 2011 lalu

MENERUSKAN SEMANGAT KARTINI
Oleh: Nana Karlina
Mempunyai Ibu seperti Ibuku adalah suatu anugerah terbesar bagiku. Beliaulah pahlawanku. Beliaulah KARTINI-ku.
Ibu adalah orang yang paling bersemangat memajukan pendidikan anak-anaknya. Disaat sebagian orang tua di desaku masih berpikiran kolot –anak perempuan tak perlu mendapat pendidikan tinggi karena ujung-ujungnya ke dapur juga– Ibuku begitu bersemangat menguliahkanku. Walau harus bersusah payah. Walau harus menghabiskan banyak biaya.
“Batas SMA jadilah Ni[1]. Untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi.” begitu Ibuku bercerita padaku tentang seorang Ibu yang keberatan menguliahkan anaknya.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang sekarang tengah melanjutkan study S2-nya. Ibulah orang yang paling bersemangat mendukungnya kuliah sampai S2. Bahkan ia tak perduli pada komentar orang-orang dan berapa biaya yang harus ia keluarkan.
“Kok langsung S2? Harusnya cari kerja dulu.” Begitu kata teman Ibu saat di pasar. Ibu tak perduli pada ucapan mereka. Yang Ibu inginkan adalah ia bisa menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Dengan begitu ia merasa bahagia.
Ibu merasa amat berkewajiban menguliahkan kami tinggi-tinggi, karena dulu, ia tak mendapatkannya dari orang tuanya. Kakekku dari pihak Ibu mempunyai dua istri. Nenekku adalah istri kedua kakek. Ibu mempunyai saudara tiri dari istri pertama kakek. Saudara tiri Ibu itu bisa melanjutkan sekolahnya sampai S2 karena Nenek tiriku itu orang berada. Sekarang saudara tiri Ibu itu menjabat sebagai dosen tetap di IAIN Imam Bonjol, dan ia berhasil menyekolahkan semua anak-anaknya samapai S2.
Sementara Ibu, Ibu mengecap pendidikan hanya sebatas Madrasah Aliyah, beliau tak bisa melanjutkan kuliah karena Nenek tak punya banyak uang, kakek pun begitu. Mungkin karena alasan itulah Ibu merasa mempunyai kewajiban besar untuk menyekolahkan kami setinggi-tingginya. Ibuku adalah seorang Ibu rumah tangga biasa, yang merangkap sebagai pedagang. Sementara Ayahku adalah seorang pedagang. Kami tinggal di ruko, rumah sekaligus toko. Dari toko yang menjual berbagai macam perlengkapan kamar tidur itulah Ibu dan Ayahku mendapat uang.
Ibu orang yang tegar dan penuh semangat. Karena hal itulah, aku tak pernah mengeluh menempuh jarak 60 km pulang pergi dengan sepeda motorku untuk kuliah. Aku harus bersyukur karena aku masih bisa kuliah, tidak seperti Ibu yang tidak bisa kuliah. Tidak semua orang bisa kuliah. Maka, terlalu manja rasanya mengeluhkan jauhnya jarak yang harus kutempuh dalam menimba ilmu. RA. Kartini, telah memperjuangkan hak wanita dalam memperoleh pendidikan, maka sebagai generasi muda aku berkewajiban melanjutkan perjuangannya. R.A Kartini, semangat dan perjuanganmu, akan kuingat selalu.

                Ibu, aku dan Ibu Haji (Adek Ibu)

[1] Sampai SMA sudah cukup, Ni.

Sorbonne University

Sorbonne University

Alexandria

Alexandria

Edensor

Edensor

Bunaken

Bunaken