Rabu, 02 November 2011

Mawar Hitam


Oleh: Nana Karlina
Wanita itu tak dapat lagi menamai waktu. Seluruh detak baginya adalah malam yang menghitam. Segala warna tak dikenalnya lagi sejak adanya kepedihan itu, kepedihan yang telah menguras habis air matanya siang dan malam.
Tapi wanita itu masih bisa meraba tiap kelopak mawar merah yang tentunya kini pun terlihat hitam. Air matanya kembali merembes, ia sesegukan di atas dipan. Sepasang mata haru mengamatinya dengan genangan air di dalamnya. Mata itu milik seorang wanita tua yang telah janda.
Si wanita menciumi mawar yang tadi dipegangnya, ia tersenyum sembari berucap “Aku mencintaimu Rama. Kau kemana? Lama sekali menjemputku, bukankah kita akan segera menikah?” sesaat kemudian air mata wanita itu merembes. Kali ini ia melempar mawar yang sedari tadi berada dalam genggamannya sembari menjerit-jerit histeris. “Tidak, kau belum mati. Kamu belum mati. Kau belum matiiii …!!!” air matanya menghambur membasahi sprei hijau yang membungkus kasurnya, juga membasahi pipinya hingga merembes sampai ke leher. Wanita baya yang sedari tadi mengamatinya menghambur ke arah si wanita. Merangkulnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Mengelus-elus rambutnya. Tangis si wanita perlahan mereda, ia merasa nyaman dalam pelukan sang bunda. Sesaat kemudian lelap menyelimutinya, membawanya ke alam mimpi yang mungkin jauh lebih menentramkan. Wanita baya membaringkan kepala si wanita di atas bantal bersarung yang juga berwarna hijau. Wanita baya menghapus air mata yang tadi juga merembes di pipi keriputnya  dengan ujung jilbab, lalu beranjak menuju kamar kecil. Ia membasuh muka, tangan, ubun-ubun, telinga dan juga kedua kakinya. Lalu bersimpuh, menghanyutkan dirinya dalam telaga syahdu kasih sayang Tuhan. Pada-Nya lah harapan digantungkannya. Juga rasa pilu yang selama ini menyiksa batinnya.
***
Bersambung ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sorbonne University

Sorbonne University

Alexandria

Alexandria

Edensor

Edensor

Bunaken

Bunaken