Kamis, 14 April 2011

Cerpen ini kalah dalam lomba cerpen FSBP


JANJI EMPAT TAHUN
 Cerpen: Ana Khairina

Aku duduk termangu di tepi jendela. Memandang ke cahaya jingga yang memantul di permukaan air sungai Batanghari nan tenang di belakang rumahku. Dari ketinggian lantai dua rumahku, pemandangan indah itu terlihat lebih jelas. Aku termangu. Pandanganku jauh ke depan. Jiwaku menerawang ke sisa-sisa kenangan masa lalu. Masih terngiang jelas kata-kata itu, saat dia menyatakan cintanya padaku,
“Terima lah aku Syafira. Aku sungguh-sungguh mencintaimu.”
“Maaf Zul, aku tak bisa. Orang tuaku melarangku pacaran. Ayah bilang, dalam Islam tak ada yang namanya pacaran. Jika nanti aku sudah cukup umur dan ada laki-laki yang suka padaku. Ia harus langsung melamarku kepada Ayah.”
Zul lalu befikir sejenak dan kemudian berkata,
“Kalau begitu tunggulah aku Syafira! Empat tahun lagi aku akan datang melamarmu.” Katanya yakin.
Ah, masa lalu. Apakah waktu itu Zulfa sungguh-sungguh dengan ucapannya? Beberapa hari ini aku tak bisa tidur karena memikirkan hal itu. Apakah dia masih ingat janjinya empat tahun yang lalu itu? Ia terlihat lebih gagah sekarang. Tanpa sengaja kemarin aku bertemu dengannya di Perpustakaan Provinsi. Ia kaget melihatku dan terlihat jelas pada raut mukanya bahwa ia bahagia bisa bertemu denganku. Sejak dua tahun lalu aku kehilangan kontak dengannya,
“Syafira? Apa kabar?” tanyanya saat aku bertemu dengannya. “Senang bisa bertemu kau disini. Sudah dua tahun kita kehilangan kontak. Handphone-ku hilang dua tahun lalu. Nomor kontak-mu dan semua kontak teman-teman kita dulu pun lenyap.” Terangnya padaku.
“Alhamdulillah kabarku baik,” jawabku sambil tersenyum “kamu sendiri bagaimana? Oya, ada apa kamu ke Jambi?” tanyaku agak gugup. Aku sendiri tak tahu kenapa aku segugup itu.
“Alhamdulillah kabarku juga baik. Iya, aku ke sini ke rumah Bibi. Sudah lama sejak tamat Aliyah dulu aku tidak ke kota ini. Kebetulan Bibi dan keluarganya pergi, makanya aku ke perpustakaan ini. Bagaimana kabar orangtuamu??”
“Alhamdulillah orang tuaku baik.”
“Alhamdulillah, oya Syafira berapa nomor handphone-mu?”
Aku lalu memberikan nomor handphone-ku dan kemudian kami terjebak dalam perbincangan hangat tentang masa lalu. Masa lalu yang konyol namun tak terlupakan. Masa lalu yang indah untuk di kenang.
Zulfa telah banyak berubah. Sekarang, ia lebih santun dalam berbicara. Lebih berwibawa dan terlihat gagah. Tubuhnya yang dulu kurus tinggi sekarang telah berubah menjadi atletis. Bentuk mukanya pun terlihat lebih tampan. Aku yakin, wanita manapun yang memandangnya pasti bersedia dinikahinya. Ia pun sekarang lebih bisa menjaga pandangan, ia tak mau berlama-lama memandang wajahku ketika berbicara, ia hanya melihatku sekilas dan kemudian mengalihkan pandangan. Ia benar-benar telah banyak berubah. Dan entah kenapa aku merasakan getar-getar aneh pada jantungku saat bersamanya, padahal sebelumnya tak pernah kurasakan.
Tapi, aku tak tahu pasti, masih ingatkah dia tentang janji itu atau tidak? Atau jangan-jangan sekarang ia telah memiliki calon istri? Oh, aku tak ingin membayangkan hal itu, karena sekarang aku begitu mengharapkannya.
“Oya, kapan-kapan aku boleh ‘kan silaturahmi ke rumahmu?” tanyanya.
“Oh, tentu saja boleh. Orang tuaku pasti senang menerima kedatanganmu.” Jawabku penuh harap. Berharap kalau ia masih mengingat janjinya dan akan menepatinya.
Ia tersenyum. Dan aku pun tersenyum mengingat hal itu.
Mentari mulai turun pelan–pelan keperaduannya. Aku beranjak dari tempat duduk. Berdiri di tepi jendela memandang matahari yang perlahan-lahan seperti bersembunyi di balik pohon-pohon yang berjejer di seberang sungai. Langit menyemburatkan warna merah. Terlihat begitu memesona. Perahu dan pompong terlihat melintas di tengah sungai. Mungkin itu adalah perahu orang dusun seberang yang hendak pulang. Azan magrib serta merta berkumandang bersahut-sahutan.
***
Aku sedang asyik dengan laptop-ku. Berselancar di dunia maya mencari informasi tentang beasiswa S2. Baru mengetik satu huruf di beranda google, handphone-ku memekik. Ada sms. Nomornya tak ku kenal.
“Assalammu’alaikum. Benar ini nomor Syafira?”
“Benar, ini siapa ya?”
“Ini Zulfa. Syafira, aku ingin tanya sesuatu yang amat penting. Mmm…masih kah kau ingat janjiku empat tahun lalu?”
Jantungku mulai berdegup kencang. Bulir-bulir harapan mencuat seketika. Janji itu, ternyata ia masih mengingatnya.
“Janji? Janji yang mana ya?”
Ah, aku mengutuki diriku setelah ku kirim sms itu. Bagaimana mungkin aku bertanya seperti itu? Bagaimana kalau dia tersinggung dengan pertanyaanku? Bagaimana kalau ia berfikir kalau aku telah melupakan kenangan itu? Dan ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk menepati janjinya empat tahun lalu? Ah, aku sungguh bodoh!
“Syafira, aku ingin melamarmu? Bukankah empat tahun yang lalu aku pernah memintamu menungguku? Dan sekarang aku datang Syafira?”
Aku tersentak. Rasa haru serta merta menjalar ke seluruh tubuhku. Seakan tak percaya, ia yang aku tunggu ternyata benar-benar menepati janjinya.
“Mmm … aku tak bisa menjawabnya sekarang. Datang lah pada orang tua-ku.” Tulisku.
“Baiklah. Tunggulah kedatanganku.”
Tak dapat kulukis rasa bahagiaku. Setelah pertemuan dengan Zulfa tempo hari dan sms-nya itu, membuat duniaku semakin terasa indah. Aku jadi begitu bersemangat dan menjadi begitu suka tersenyum.
***
Seminggu sudah berlalu setelah sms-nya itu. Namun, Zulfa belum juga datang ke rumah untuk melamarku. Aku sedikit risau. Mungkin karena tak sabar.
Mentari pagi di luar bersinar cerah. Dari jendela ruang tamu, aku lihat ada tukang pos berhenti di depan rumah. Aku keluar dan menghampiri tukang pos itu. Ada yang mengirim sepucuk surat padaku. Pengirimnya: Zulfa Raditya. Sekonyong-konyong aku didera rasa penasaran yang sangat. Apakah gerangan isi surat itu? Kenapa Zulfa mengirimkannya melalui surat? Kenapa tidak lewat telpon saja? Aku tak tahu. Perlahan-lahan ku buka dan ku baca isi surat itu.
Kepada Syafira Anggraina
Assalammu’alaikum Wr Wb.
Dengan deraian air mata ku tulis surat ini. Dan dengan seberkas doa yang selalu ku panjatkan pada Allah agar kita selalu dalam bimbingan dan limpahan kasih sayang-Nya. Syafira, aku tak tahu harus dari mana ku mulai menuliskan apa yang sedang ku rasa saat ini. Apapun kabar yang akan kau terima nanti dari surat ini, janganlah kau bersedih hati. Karena sesungguhnya yang paling bersedih dalam hal ini adalah aku.
Syafira,
Kau tentu tahu bahwa aku -tanpa harus kusebutkan lagi- benar-benar mencintaimu. Dan aku berniat akan melamarmu dalam waktu dekat. Karena dulu, kau lah yang mengajari aku bahwa di dalam Islam tidak diperbolehkan untuk pacaran. Kau bilang padaku bahwa jika aku benar-benar mencintaimu, kau mempersilahkan aku meminangmu kepada orang tuamu setelah kita berdua tamat kuliah. Sekarang aku sudah tamat kuliah Syafira, kau pun begitu. Perlu kau tahu, selama kuliah tak ada satu pun wanita yang menarik hatiku. Hanya kau Syafira yang ku ingat selalu. Aku ingin cepat-cepat wisuda karena ingin segera melamarmu. Perlu kau tahu itu Syafira.
Syafira, setelah kau mendengar kabar yang akan ku tulis ini, maka janganlah kau membenciku karena ungkapan isi hatiku tadi. Tolong jangan kau benci aku. Syafira, betapa aku sangat ingin menjadi pendampingmu, menjadi pemimpinmu dalam rumah tangga yang akan kita bina nanti jika memang itu dapat terjadi.
Syafira, siapakah yang dapat menolak keinginan seorang ibu? Bagiku ibuku adalah segalanya. Airmatanya adalah mata pedang bagiku yang siap menyayat dan melumatkan hatiku. Beliau lah harta yang paling berharga untukku setelah kepergian ayah. Aku tak dapat menolak pintanya. Dan ibu yang sangat kusayangi itu, ternyata telah menjodohkan aku dengan seorang wanita yang tak pernah ku kenal sejak aku kecil dulu. Ia mengatakan hal itu ketika aku mengutarakan niatku untuk melamarmu.
Maafkan aku Syafira, maafkan aku. Jangan kau kira aku bahagia dengan semua ini. Aku lah yang paling menderita dalam hal ini. Maafkan aku. Ku mohon maafkanlah aku. Semoga Allah selalu melindungi kita dalam kasih sayang-Nya. Amin.
Jambi, 12 November 2010
Orang yang tak mampu menolak keinginan ibunya.
Pilu. Sontak rasa pilu mengahantamku. Tubuhku serasa seperti tak bernyawa lagi. Aku gemetar. Berderai-derai airmataku membaca tiap baris kalimatnya. Janji beberapa tahun yang lalu seakan lenyap sudah. Mimpi indah yang kubangun sirna. Penantian hanya tinggal penantian.
Masih ku genggam surat dari Zulfa. Aku ingin marah, tapi pada siapa? Ingin berteriak, tapi suaraku tercekat. Aku kehilangan tenaga. Aku tahu, Zulfa pun tentu tak bisa berbuat apa-apa. Ibu adalah segalanya baginya. Tak mungkin ia mampu menolak keinginan ibu yang sangat dicintainya. Begitu pula dengan perjodohan itu. Tak ada yang dapat ia lakukan selain menerima. Dan aku semakin merana membayangkan hal itu. Tubuhku terasa kian tak berdaya. Kakiku seakan lumpuh. Tanpa ku sadari, tubuhku rebah. Kemudian dunia terasa gelap.
***
            Sudah seminggu sejak kejadian itu, aku menjadi pemurung.
            “Kamu itu kenapa Pik[1]? Akhir-akhir ini Ibu liat kok murung terus?” tanya ibu saat aku tak sengaja memecahkan gelas saat sedang mencuci piring.
            “Ndak apa-apa Bu. Cuma tadi kepala Fira agak pusing.” Kilahku.
            “Kenapa? Masih mikirin si Zulfa itu ya?”
            Aku diam.
“Sudahlah Pik, mungkin memang jodoh kamu itu bukan dia. Sekarang, kamu harus fokus. Besok keluarga Nak Radit akan datang ke sini. Percayalah dengan jodoh pilihan ibu. Ibu tahu yang terbaik untukmu. Ibu tahu betul siapa ibunya Radit itu. Ia teman baik ibu waktu di Madrasah Aliyah dulu.
“Dah, kamu jangan sedih lagi.” Terang ibu.
***
Aku telah siap menyambut kedatangan keluarga laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Aku telah pasrah. Mungkin memang ini lah yang terbaik untukku.
Aku duduk di kursi ruang tamu dengan raut muka yang ku paksa-paksakan seceria mungkin.
            Lima menit kemudian, pemuda itu akhirnya datang bersama ayah dan ibunya.
            “Assalammualaikum.” Kata mereka hampir bersamaan.
            Langsung ku arahkan mukaku pada asal suara di depan pintu masuk.
            “Masyaallah! Zulfa?” Kataku setengah berteriak.
“Zulfa Raditya.” Lanjutku haru.

Sengeti, 18 Maret 2011


[1] Sebutan untuk anak perempuan. Asal katanya “Upik”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sorbonne University

Sorbonne University

Alexandria

Alexandria

Edensor

Edensor

Bunaken

Bunaken