Minggu, 14 Agustus 2011

MEMORI WISATA KE TANGKUBAN PERAHU PADA APRIL 2009


BERWISATA KE TANGKUBAN PERAHU
Oleh: Nana Karlina
Perjalanan ke Tangkuban Perahu
Siang itu, setelah melakukan studi banding di kampus ITB, kami langsung bersiap untuk berwisata ke Tangkuban Perahu. Betapa riang hatiku ketika bus mulai menderum dan siap membawa kami berwisata. Di perjalanan, tak lupa kami membeli nasi bungkus untuk makan siang.
Bus masih merangkak, kali ini melewati pendakian. Kaca bis kami mengembun, gerimis tipis menyelimuti bumi. Bis terus melaju menuju ke daerah perbukitan nan sejuk dan rimbun. Aku dan seisi bus yang berisi temanku dan dua orang dosen, begitu menikmati perjalanan ini. Inilah saatnya kami refresing menghilangkan sisa-sia penat perjalanan selama 2 hari 2 malam kemarin dari Jambi ke Bandung.
Tak berapa lama, kami telah tiba di suatu tempat. Tempat ini, lebih semacam terminal dimana bis bisa parkir. Ada beberapa warung kecil di sana sini. Untuk melihat pemandangan indah di Tangkuban Perahu, kami harus naik mobil khusus angkutan pariwisata Tangkuban Perahu yang telah disediakan.
Para penjual syal dan cinderamata mulai bersiliweran mendekati kami ketika kami mulai turun dari bis. Berbagai corak dan warna syal pun ditawarkan kepada kami. Pada ujung syal itu terdapat bordiran yang bertuliskan: Tangkuban Perahu. Beberapa pernak-pernik yang lain pun juga ditawarkan, seperti gantungan kunci, celetuk, gelang, dan kalung yang berlogokan: Tangkuban Perahu. Aku membeli celetuknya. Aku pikir, Ayah pasti senang aku belikan itu.
Di terminal inilah kami makan siang, sebelum nanti kami memasuki tempat pariwisata Tangkuban Perahu. Ada sebuah pendopo tua kusam yang luas di terminal ini. Kami memilih tempat itu untuk makan siang. Nasi bungkus yang tadi dibeli oleh penanggungjawab konsumsi pun mulai dibagikan. Penjual air minum dan penyewa tikar mulai mendekati kami. Pendopo itu memang tak ada meja untuk kami duduki. Jadi, perlu tikar untuk duduk lesehan supaya pakaian kami tidak kotor. Tapi kami tak menyewanya, karena kami lebih memilih duduk di tangga-tangganya yang lumayan bersih untuk makan siang.
                                        Di pendopo saat makan siang
Setelah makan dan perut terasa sudah kenyang, kami mulai bersiap-siap menuju tempat pariwisata Tangkuban Perahu. Mobil-mobil carteran bertulis Tangkuban Perahu pun mulai bersileweran. Ada yang sedang menurunkan penumpang, ada juga yang sedang menunggu penumpang. Kami mulai memencar berkelompok-kelompok memenuhi kursi-kursi pada mobil itu. Dan … lets go! Kami siap meluncur.
                                              Mobil Pariwisata Tangkuban Perahu
Angin dingin dan tempias gerimis tipis mulai menaikkan bulu romaku. Aku bersidekap. Mobil itu memang mobil terbuka. Tak ada pintu kecuali untuk sopir. Jendelanya pun tak ada. Jadi udara dingin benar-benar leluasa membelai-belai tubuh kami. Gggrrr dingiinnn….
Dan …
Setelah beberapa saat, sampailah kami di kawasan Tangkuban Perahu. Pemandangan yang memanjakan mata mulai menyapa kami. Bukit-bukit hijau tinggi menjulang berdiri gagah menyambut kedatangan kami. Langit sedikit berkabut. Jalan-jalan basah oleh gerimis tipis. Kami mulai berjalan-jalan sambil clingak-clinguk melihat pemandangan yang tak pernah kami lihat sebelumnya, dan …
Waw … Amazing …!!! Aku terkesima.
Sebuah kawah besar seperti kuali raksasa memamerkan keindahannya di depan mata kami. Inilah Tangkuban Perahu. Aku heran, kenapa gunung ini dinamakan Tangkuban Perahu? Sementara tak ada satu pun perahu yang kulihat di tempat ini?
Pemandangan yang begitu eksotis. Pagar-pagar kayu, bukit-bukit, kawah berbentuk kuali raksasa, jalanan basah, tanah-tanah batu kapur, semua kombinasi ini terlihat bagai lukisan, dan aku sedang berada di dalamnya. So beautiful! Amazing! Nice!
Maka tanpa banyak ba bi bu, dengan segera kami mengabadikan pemandangan apik ini dengan jepretan kamera. Kami memang sedikit narsis dan norak. Apalagi saat berfoto. Tapi biarlah norak. Yang penting happy, hehe.
         
        

                                          Pasar Tangkuban Perahu
Kawah Domas
Awalnya, kami hanya iseng berjalan-jalan mencari view yang cocok untuk background foto kami. Tanpa sadar, kami bertiga mengikuti sebuah rombongan kecil teman kami. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa kami telah memasuki kawasan hutan.
“Kita mau kemana sih?” tanyaku yang belum sepenuhnya paham, mau kemanakah rombongan kecil ini?
“Itu, katanya di bawah itu ada kawah. Kita mau ke sana.”
“O … bagus nggak tempatnya?” tanyaku yang tak tahu.
“Wuiss … bagus …!! Makanya kita harus ke sana melihatnya. Kebetulan udah di sini, kan rugi kalau nggak ke sana.” Kata salah satu temanku dari rombongan antusias.
“Trus, dari mana kamu tahu kalau di sana ada kawah yang bagus?” tanyaku agak penasaran.
“Tadi orang sini yang bilang.”
“Ooo.” Aku mengangguk kecil.
Tanpa pikir panjang, kami pun menyetujui ajakan teman kami itu. Kami berjalan memasuki hutan. Jalan-jalannya menurun. Kami melewati anak-anak tangga dari tanah. Di sisi kiri dan kanan kami adalah rerimbunan pohon. Sejujurnya, aku takut dengan perjalanan ini.
“Kawahnya dimana sih? Jauh ya?” tanyaku was-was. Aku takut tidak bisa pulang nanti.
“Dekat kok, tuh liat, 4 km.” Jawab temanku bernama Kholis sambil menunjuk tanda panah kayu yang tertempel disebilah kayu.
4 km? Bukankah itu jauh? Jika jalannya mulus sih tak apa-apa. Ini menuruni anak tangga tanah yang lebar-lebar. Aku sangsi.
“Jauh nggak? Kita pulang aja yuk?” kataku pada kedua temanku Kiki dan Rindu.
“Nggak jauh kok, bagus tempatnya, nyesel kalo nggak lihat.” Bujuk kholis lagi.
Akhirnya, aku pun setuju karena kedua temanku: Kiki dan Rindu juga bersih keras ingin ke sana.
Satu per satu anak tangga tanah berukuran besar pun kami lewati. Kakiku mulai terasa lelah, terlebih aku was-was kalau-kalau nanti kami tak bisa pulang. Baru separuh anak tangga tanah yang kami turuni, tapi aku sudah kecapekan. Apalagi baliknya nanti? Yang harus mendaki? Aku benar-benar sangsi dengan perjalanan ini.
“Masih jauh ya? Ini kita jalan sudah jauh loh?” aku mencoba bertanya lagi. Aku takut tidak bisa pulang. Lagi pula, kami belum bilang ke dosen kami kalau kami ke kawah ini.
“Dekat lagi kok.” Temanku kembali membujuk.
Aku pun kemudian pasrah. Tak ingin lagi mengeluh dan bertanya jauh tidaknya kawah Domas Yang jelas saat itu aku sudah merasa capek. Jika nanti aku pingsan, itu salah teman-teman, karena tak mau mendengar aku minta pulang.
Dua kali kami melewati persimpangan. Temanku dengan yakinnya mengambil keputusan pada arah mana kami harus jalan. Aku masih ikut saja. Bersunggut-sunggut sendiri kapankah sampainya?
***
Akhirnya, teman-temanku yang lain pun mulai kelelahan. Tapi tetap saja, mereka masih bersih keras ingin menyelesaikan perjalanan ini. Kepalang tanggung katanya.
Di tengah perjalanan kami menemukan sebuah warung. Di warung itu lah kami beristirahat dan sejenak meregangkan otot. Kami membeli minum dan bertanya pada penjual warung,
“Mang, Kawah Doma di mana ya?” tanyaku yang sambil mengatur nafas. Udara yang keluar dari mulutku mengepul.
“O … ini dekat lagi kok dari sini Neng. Ini turun sedikit lagi sampai.” Jawabnya berlogat sunda sambil menunjuk-nunjuk jalan menurun.
Kami pun mulai optimis. Sedikit lagi sampai. Sebentar saja kami beristirahat, setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan. Dan tak lama kemudian …
Taraaaaaaa …!!! Terlihat sepotong kecil papan kayu bertuliskan : KAWAH DOMAS.
Kami pun dengan tidak sabar memasukinya. Dan ….
Waw … Amazing …!!!
Yang terlihat oleh kami adalah sebuah kawah belerang, dimana terdapat asap-asap kecil di sana sini. Asap itu adalah efek dari beberapa air belerang yang memanas, bahkan ada juga yang mendidih. Tanah yang kami injak adalah belerang putih kekuning-kuningan.
              
   
                                                               Kawah Domas
Aku dan teman-teman rombongan
Ajaib!
Seketika rasa lelah yang menggelayuti kaki kami hilang. Yang tertinggal hanyalah rasa senang karena kami telah berhasil menemukan kawah ini tanpa seorang pun guide. Dan tak mau membuang waktu, jepretan kamera pun mulai berkelap-kelip. Seorang temanku membasuh mukanya dengan air belerang yang mengalir hangat-hangat kuku. Konon, air belerang bisa menghilangkan jerawat yang bertimbulan di kulit wajah. Kebetulan temanku itu ada beberapa jerawat di wajahnya, hingga dia tak mau menyia-nyiakan air belerang yang mujarab itu. Sementara aku, mulai mengisi botol minumanku dengan air belerang yang mengalir langsung dari mata airnya. Rencananya, air belerang itu ingin kubawa pulang sebagai oleh-oleh dari kawah Doma. ^__^

Sengeti, 01 Juni 2011

2 komentar:

Sorbonne University

Sorbonne University

Alexandria

Alexandria

Edensor

Edensor

Bunaken

Bunaken