Minggu, 14 Agustus 2011

Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba menulis Kartini Indonesia yang diselenggarakan oleh HONDA pada bulan April 2011 lalu

MENERUSKAN SEMANGAT KARTINI
Oleh: Nana Karlina
Mempunyai Ibu seperti Ibuku adalah suatu anugerah terbesar bagiku. Beliaulah pahlawanku. Beliaulah KARTINI-ku.
Ibu adalah orang yang paling bersemangat memajukan pendidikan anak-anaknya. Disaat sebagian orang tua di desaku masih berpikiran kolot –anak perempuan tak perlu mendapat pendidikan tinggi karena ujung-ujungnya ke dapur juga– Ibuku begitu bersemangat menguliahkanku. Walau harus bersusah payah. Walau harus menghabiskan banyak biaya.
“Batas SMA jadilah Ni[1]. Untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi.” begitu Ibuku bercerita padaku tentang seorang Ibu yang keberatan menguliahkan anaknya.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang sekarang tengah melanjutkan study S2-nya. Ibulah orang yang paling bersemangat mendukungnya kuliah sampai S2. Bahkan ia tak perduli pada komentar orang-orang dan berapa biaya yang harus ia keluarkan.
“Kok langsung S2? Harusnya cari kerja dulu.” Begitu kata teman Ibu saat di pasar. Ibu tak perduli pada ucapan mereka. Yang Ibu inginkan adalah ia bisa menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Dengan begitu ia merasa bahagia.
Ibu merasa amat berkewajiban menguliahkan kami tinggi-tinggi, karena dulu, ia tak mendapatkannya dari orang tuanya. Kakekku dari pihak Ibu mempunyai dua istri. Nenekku adalah istri kedua kakek. Ibu mempunyai saudara tiri dari istri pertama kakek. Saudara tiri Ibu itu bisa melanjutkan sekolahnya sampai S2 karena Nenek tiriku itu orang berada. Sekarang saudara tiri Ibu itu menjabat sebagai dosen tetap di IAIN Imam Bonjol, dan ia berhasil menyekolahkan semua anak-anaknya samapai S2.
Sementara Ibu, Ibu mengecap pendidikan hanya sebatas Madrasah Aliyah, beliau tak bisa melanjutkan kuliah karena Nenek tak punya banyak uang, kakek pun begitu. Mungkin karena alasan itulah Ibu merasa mempunyai kewajiban besar untuk menyekolahkan kami setinggi-tingginya. Ibuku adalah seorang Ibu rumah tangga biasa, yang merangkap sebagai pedagang. Sementara Ayahku adalah seorang pedagang. Kami tinggal di ruko, rumah sekaligus toko. Dari toko yang menjual berbagai macam perlengkapan kamar tidur itulah Ibu dan Ayahku mendapat uang.
Ibu orang yang tegar dan penuh semangat. Karena hal itulah, aku tak pernah mengeluh menempuh jarak 60 km pulang pergi dengan sepeda motorku untuk kuliah. Aku harus bersyukur karena aku masih bisa kuliah, tidak seperti Ibu yang tidak bisa kuliah. Tidak semua orang bisa kuliah. Maka, terlalu manja rasanya mengeluhkan jauhnya jarak yang harus kutempuh dalam menimba ilmu. RA. Kartini, telah memperjuangkan hak wanita dalam memperoleh pendidikan, maka sebagai generasi muda aku berkewajiban melanjutkan perjuangannya. R.A Kartini, semangat dan perjuanganmu, akan kuingat selalu.

                Ibu, aku dan Ibu Haji (Adek Ibu)

[1] Sampai SMA sudah cukup, Ni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sorbonne University

Sorbonne University

Alexandria

Alexandria

Edensor

Edensor

Bunaken

Bunaken