Selasa, 16 Agustus 2011

INSPIRASIKU MENULIS (Episode #1)

INSPIRASIKU MENULIS (Episode #1)
GARA-GARA AADC
Oleh: Nana Karlina
Tahun 2002   
Saya menyukai puisi sejak duduk di kelas dua SMP. Lebih tepatnya, saat marak-maraknya film “Ada Apa Dengan Cinta” yang dimainkan oleh Dian Sastro dan Nikolas Saputra. Ya, saya sangat terkesan dengan film itu. Saya menontonnya saat pemutaran ulang di layar televisi. Karena waktu itu, saya nggak tahu sama yang namanya bioskop. Karena di desa saya memang nggak ada bioskop, yang ada hanya layar tancap. Kalau pun mau nonton ke bioskop harus pergi ke kota.
Iya, setelah nonton film itu, kecintaan saya pada puisi berkobar-kobar. Saya sempat bermimpi ingin menjadi penyair yang bisa mendeklamasikan puisinya dengan menawan. Saya terus terbayang-bayang dengan cerita yang ada dalam film itu. Tentang karakter tokoh Cinta dan karakter tokoh Rangga. Sampai akhirnya mereka berdua jatuh cinta. Apalagi saat  puisi Rangga jadi pemenang lomba di sekolahnya, rasanya saya juga ingin sekali bisa bikin puisi. Yah, sangat ingin.
Kulari ke hutan
Kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai
Kemudian teriakku
Sepi, sepi dan sendiri aku benci!
Aku ingin binger
Aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat
Enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga bila kusendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh.
Ada malaikat menyulam jarring laba-laba belang di tembok karton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya
Biar terdera?
Atau aku harus lari ke hutan
Belok ke pantai?
Bait puisi itu hingga saat ini masih tetap mempunyai tempat tersendiri di hati saya. Saya begitu terkagum-kagum ketika melihat  adegan Cinta bacain puisinya Rangga di sebuah Kafe. Dia juga melagukan puisi Rangga tersebut. Karena itu, setiap larik puisi yang Cinta bacakan dalam adegan film itu, saya berusaha keras untuk mengingatnya. Sejak itulah saya terinspirasi menulis puisi. Yah, sejak itu saya terinspirasi menulis puisi.
Kegandrungan terhadap puisi ini berlanjut saat saya dan teman-teman sekelas mendapat tugas dari guru Bahasa Indonesia kami untuk membacakan salah satu puisi karangan siapa saja di depan kelas. Saya begitu bersemangat. Saat itu, puisi yang saya bacakan adalah puisinya Chairil Anwar yang berjudul “AKU.”
Dengan semangat buncah karena saking cintanya terhadap puisi, membuat saya tak sabar menunggu giliran saya dipanggil. Meski perasaan grogi menggelayuti, namun hasrat untuk meniru gaya Dian Sastro baca puisi lebih besar ketimbang rasa grogi itu.
Aku
Karya: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau!
Saya membacakannya seolah-olah saya lah penyair nomor satu yang terbagus di kelas itu. Sombong memang. Namun mungkin itu lah efek dari keobsesian saya. Obsesi ingin seperti Dian Sastro.
Walau pun saya telah membacakan puisi dengan totalitas yang “menurut saya” maksimal, namun tidak serta merta membuat nilai Bahasa Indonesia saya paling tinggi di kelas. Semuanya biasa-biasa saja.
&&&
Tahun 2004
Berlanjut hingga saya SMA. Saat itu saya dan teman-teman sekelas juga mendapatkan tugas yang sama oleh guru Bahasa Indonesia kami, yaitu membacakan puisi. Kali ini saya memilih puisi dari suatu majalah bekas yang saya beli, bukan puisi dari penyair terkenal. Puisi yang saya bacakan waktu itu adalah puisi karangan Rizki Pradana dengan judul “Contemplation For Love”. Alasan dasarnya saya memilih puisi ini adalah karena makna puisi ini sangat sesuai dengan kondisi hati saya saat itu, yaitu tentang patah hati. Kebetulan saat itu saya memang lagi patah hati. Dan kebetulan pula orang yang mematahkan hati saya itu berada sekelas dengan saya, jadi saya ingin dia merasakan pilunya hati saya saat itu.
Kering sudah mata air yang aliri sungai cinta
Menguap di antara sakit yang terasa
Tinggal kenangan cinta
Tak ada lagi rasa
Seandainya masih ada di hati
Hanya untuk Sang Maha Pecinta
Dimana cintaku terbalaskan
Bahkan, lebih dari yang kuberikan
Iya, begitulah. Jadi ceritanya tuh, tuh cowok pernah nembak saya. Ee … pas udah jadian, saya malah dia cuekin. Saya malu deketin dia duluan buat nanya sebab musababnya. Jadi saya tulis aja di sebuah buku dan saya kasih buku itu ke dia. Pas besoknya, dia nitipin buku saya itu ke teman saya buat dikasiin ke saya. Yang isinya tuh ngajak putus. Saya terpukul dong. Alasan dia sih karena ada orang yang nggak suka sama hubungan kami. Tapi belakangan saya tahu kalau dia tuh sebenernya udah punya pacar, yaitu Kakak kelas kami sendiri. Iya, jadinya dia itu brondong. Jadi intinya, dia nembak saya tuh cuma sebagai pelampiasan aja karena dia lagi ribut sama ceweknya. Jahat banget kan? Iya, jahat banget. Sampai-sampai saya nggak mau negur dia sampai kelas tiga. Gak baik sih sebenernya kayak gitu, tapi hati saya udah terlanjur sakit banget digituin.
Oke lanjut ke puisi. Setelah saya bacain tuh puisi di depan kelas, saya langsung diberi komentar sama Bu Ade, guru Bahasa Indonesia kami.
“Intonasi kamu sih bagus. Penjiwaannya dapet. Tapi kamu baca puisi kayak orang lagi ngomong sama orang.”
“Ya iya lah Bu, emang saya mau numpahin perasaan sakit hati saya sama dia.” Bisik hati saya sembari melirik orang yang dah nyakitin saya.
&&&
Tahun 2007
 Nah, terus saya naik ke kelas 2, 3 sampai akhirnya saya kuliah. Saya masih suka nulis puisi. Cuma pas lagi galau aja. Ya, nulis puisi abal-abal aja, amburadul. Karena memang saya nulisnya suka-suka aja.
Sampai suatu ketika saya mendengar kabar burung bahwa ada sebuah novel spektakuler yang berjudul “Ayat-Ayat Cinta.” Penasaran dengan desas desus yang beredar, maka saya langsung meluncur ke toko buku mencari novel itu. Dan akhirnya dapat.
Maka jadilah novel itu merupakan novel perdana yang saya baca. Ya, saya memang tak terlampau suka membaca. Lebih tepatnya, emang nggak suka baca. Seumur-umur, baru waktu kuliah itu pertama kali saya baca novel. Pernah sih beberapa kali liat cerpen di majalah. Tapi, tak pernah sampai habis saya baca. Saat itu, sempat terlintas di benak saya kalau suatu saat nanti saya ingin cerpen saya yang nangkring di sana. Namun saat itu, saya nggak tahu menahu gimana caranya nulis cerpen yang baik dan benar. Dan nggak pernah nyoba juga menuliskannya. Jadi gimana? Ya saya nggak nulis.
 Kembali ke novel “Ayat-Ayat Cinta”. Awalnya saya baca sih biasa aja. Cuma saya masih terus aja baca, soalnya penasaran sama kabar burung itu. Apa benar novel ini bagus? Kalau benar, bagusnya di mana?
Oleh karena itu, setiap hari saya coba baca novel itu biar cepat selesai. Ternyata benaran keren. Saya begitu terkagum-kagum. Awalnya saya kagum sama tokoh-tokohnya. Sama si Fahri yang baik banget. Sama si Aisyah yang jelita dan sholehah. Sama si Maria, gadis Kristen koptik yang suka dengan Al-Qur’an dan jatuh cinta sama si Fahri. Dengan Nurul, yang terlambat menyatakan perasaannya sama si Fahri sehingga bikin cerita itu menguras air mata saya sampai ber-ember-ember (lebay). Ya, sejak itu saya jadi suka baca novel. Dan sejak itu pula, terbersit keinginan untuk menulis novel.  
Dan setelah “Ayat-Ayat Cinta”, kabar burung itu kembali beredar. Sebuah novel yang juga bagus adalah novel “Laskar Pelangi”nya Andrea Hirata. Saya semangat banget nyarinya dan memboyongnya ke rumah. Baca Novel ini saya agak-agak gak nyambung. Tapi saya coba lagi baca pelan-pelan sampai nyambung. Waw, iya, ternyata amazing! Nih novel juga kereenn.
&&&
Tahun 2008
Nah, terus ceritanya berlanjut saat Uda saya pulang dari kota Padang dengan membawa laptop yang dibelinya beberapa waktu sebelumnya untuk mempermudah pengetikan skripsinya. Saya keranjingan sama laptop itu. Karena itu saya kotak katik deh isinya. Ternyata di sana ada cepen bikinan Uda saya sendiri. Nah, saya baca. Terus, terbersit lagi sesuatu di benak saya.
“Ah, nulis cerpen gini mah, aku pun bisa.” Begitu bisik hati saya. Saya emang orangnya nggak mau kalah sama Uda saya. Apa yang Uda saya bisa lakuin, saya juga harus bisa.
Nah, jadilah saya latihan bikin cerpen di laptop itu sekalian belajar ngetik 10 jari. Tema yang saya angkat dalam nulis cerpen waktu itu adalah tentang kisah nyata seorang gadis nasrani yang masuk islam. Saat itu dia dimusuhi keluarganya dan dikucilkan. Namun teman-teman rohis kampus saya dengan senang hati membantunya. Saya mengetahui cerita itu dari kakak tingkat saya saat kami sedang mentoring agama. Nah, maka mulailah saya berkisah dengan laptop itu.
Dengan niat ingin buktiin ke Uda kalau saya juga bisa membuat apa yang dia buat dan dengan niat ingin latihan ngetik 10 jari, maka tanpa disangka-sangka, jadilah cepen itu. Dan cerpen itu merupakan cerpen perdana yang saya buat. Uda sempat kaget karena saya nulisnya cuma dalam waktu kira-kira dua jam. Uda mulai membacanya. Dia hanya diam saja dan berkata,
“Cepat nian kau nulisnya? Uda aja bikin cerpen satu bulan.”
Ah, karena diberi komentar begitu, semangat nulis saya buncah. Saya mulai nulis-nulis nggak jelas. Ya, yang penting ada tulisan karya saya. 
to be continue ....
Sengeti, 16 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sorbonne University

Sorbonne University

Alexandria

Alexandria

Edensor

Edensor

Bunaken

Bunaken