Senin, 24 Oktober 2011

SUNDAY FULL STORY


23 Oktober 2011
Gak lagi-lagi deehhh …!!!
Senja telah menua ketika aku tiba di rumah. Adzan magrib pun t’lah terdengar sebelum ban sepeda motorku mencium lantai teras rumah. Jantungku dag dig dug. Khawatir Ayah dan Ibu akan memarahiku karena baru pulang jam segini.
Lampu sepeda motorku menyorot ke pintu masuk. Terlihat tubuh tambun Ibu telah berdiri di sana. Mulut beliau terlihat  komat kamit melafazkan zikir. Khas Ibu saat perasaannya sedang khawatir.
“Malam-malam baru balek Nanaaa.” Ucapnya dengan nada bergetar bercampur cemas. Matanya memerah. Hatiku mendesau-desau. Perasaan bersalah semua campur aduk jadi satu di dalam hatiku. Aku membisu.
Ibu masuk ke dalam rumah lebih dulu lalu menggelosorkan tubuhnya di atas karpet di depan tivi. Dan suara itu menyergapku.
“Kemano be kau? Balek malam-malam?” Raut wajah Ayah benar-benar menggambarkan kecemasan.
Aku diam seribu bahasa. Tubuhku yang kelelahan membuatku malas untuk menjelaskan semuanya. Aku ingin istirahat.
“Ayah dengan Ibu lah cemas. Balek malam-malam, mano hape dak aktif pula. Ayah telponin Gustiara, Ayah kiro Nana pegi samo dio. Ni Ayah baru nak ngubungi Tati.”
“Ayah lah bingung, kemano Nana pegi dari pagi sampe malam begini? Ayah tuh takut kalau ado apo-apo. Apo kecelakaan, apo dijahatin orang. Cubo kalo balek malam tu sms Ayah. Kasih tau Ayah. Ko dak, orang tuo la cemas-cemas di rumah. Tengok Ibu tu, lah lemas badannyo. Untung dak pingsan.” Hatiku berdesir merasakan kecemasan mereka. Hal semacam ini telah terbayang olehku sejak di rumah Uju Me’do tadi. Hapeku habis nyawa, aku benar-benar lupa memberi tahu Ayah.
“Hape Nana ngedrop, Yah.” Ujarku pasrah.
“Ha? Mano hape habis batre pula. Dak biso Ayah ngebungi. Kalo sudah macam tu, kemano nak dicari lagi? Ayah ko la cemas-cemas.”
Aku sudah merasakan tubuhku begitu lelah. Aku butuh istirahat. Aku beranjak ke kamar dan menghempaskan tubuhku di kasur. Lamat-lamat kejadian yang kualami siang tadi pun membayang: Dari mulai jemput Me’do, pergi ke pertemuan FLP, nemuin teman yang kemarin mesan bukuku, ke museum (yang mana di sini lah banyak waktu kami buang-buang), ke pasar nemenin Me’do cari tas laptop. Dan sampai pada akhirnya Me’do minta temenin ke rumah Ujunya.
“Kito mampir ke rumah Uju Me’do sebentar yok. Me’do nak ngambil hard disk.” Ajak Me’do saat itu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore.
Aku manggut-manggut.
Kami memasuki suatu kawasan sekolah yang berdiri di belakang deretan ruko. Ujunya Me’do itu tinggal di tingkat paling atas gedung sekolah itu. Aku memilih menunggu di bawah. Karena kukira hanya sebentar. Lama kutunggu, termangu, hingga waktu telah menunjukkan pukul setengah 5 sore terdengar suara dari atas gedung.
“Nana, Na, naik sebentar yuks. Kito sholat Ashar dulu sebentar. Nanti takutnya dak tekejar.” Suara Me’do.
Ah, tanpa banyak cincong aku pun naik ke atas gedung bertingkat 4 itu. Begitu sampai terlihatlah kediaman sederhana Uju Me’do. Seorang lelaki paruh baya berperawakan macam orang arab terlihat sedang mengadon kue. Sementara Me’do terlihat sedang mengopi sesuatu dari laptop ke flashdisk. Kami menunggu kamar mandi kosong untuk berwudhu. Dan itu lumayan memakan waktu.
Selesai  berwudhu, kami lalu sholat bergantian. Memasang jilbab. Lalu disuruh duduk dan makan bubur kacang ijo yang disediain Uju Me’do. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 5.
“Me’do, udah yuk pulang. Hari sudah sore, ntar maghrib lagi sampenya.” Ujarku.
“Iya, iya, sebentar, Me’do nak masukin ke laptop foto-foto kito yang tadi.” Iya, sebelumnya kami memang berfoto-foto di Museum. Soal foto-foto itu, ada judulnya sendiri dalam cerita ini.
“Dek, tolong masukin ke laptop Adek foto-foto Me’do ni. Nanti Adek tolong uplodin ke facebook ya?” pinta Me’do kepada ponakannya.
Setelah dihubungkan ke laptop, ponakan Me’do itu menyuruh kami sendiri yang ngopi foto-fotonya karena dia mau sholat. Dan kami pun mulai mengopi. Namun, Uju Me’do menyuruh kami geser duduknya, sehingga, terlepas lah kabel data itu dari laptopnya karena ketidaksengajaan.
Saat kami hendak menghubunginya lagi ke laptop, tuh laptop sama kabel data malah nggak bisa kehubung. Sehingga eh sehingga hal itu memakan waktu lagi. Ponakan Me’do selesai  sholat dan membereskan semua, lalu sesi kopi mengopi pun dimulai. Aku melirik jam dinding di dalam rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 5 lewat 25 pm. Sementara sesi mengkopi dan memilah milih foto belum juga kelar.
“Me’do, pulang yok, sudah jam setengah 6 nanti jam berapo sampai di rumah? Nggak enak pulang maghrib-maghrib.”
“Iya, iya, ni dikit lagi.”
Aku menggurutu dalam hati. Aku resah karena kutahu orang di rumah juga resah karena aku pulang hampir maghrib begini.
“Me’do, ayolah balek Me’do.” Ujarku agak sedikit membentak kali ini. Aku benar-benar resah, teringat Ibuku di rumah. Biasanya kalo aku pulang telat, Ayahku pasti meneleponku, tapi saat itu hapeku sedang mati.
“Iya, iya iya ayok kita pulang.”
Walhasil, kami pulang pukul setengah 6 dari rumah Uju Me’do. Itu pun kami mampir lagi di tukang penjual mangga untuk beli mangga sebelum benar-benar pulang. 
“Nana, makan dulu.” Suara itu menderaku. Terlihat Ibuku telah berada di depan pintu kamarku. Aku menggeliat lalu mengikuti ajakannya.
Narsis di Museum
Ini ideku. Memang aku yang mengajak Me’do ke Museum. Aku sangat tertarik dengan pameran alat musik nusantara itu. Setibanya di Museum, kami langsung jepret kamera.



Belum lama kami berada di dalamnya, Me’do izin keluar menemui temennya. Aku ditinggalnya sendiri di dalam. Ah, dari pada manyun nggak jelas, langsung deh aku manfaatin momen itu dengan menjeprat-jepret kameraku. Segala benda di dalam ruangan itu aku jempretin, hehe … 



Dan masih banyak foto yang lainnya, hehe ....

Bosan menjeprat-jepret nggak jelas, aku akhirnya keluar mencari Me’do. Terlihat Me’do sedang ngobrol-ngobrol sama tamennya. Aku duduk deket mereka sebentar (ganggu nggak sih gue? Bodo’ amat ah! Sapa suruh ninggalin gue sendiri kayak anak telantar?! Hehe, pis Me’do ^^), lalu aku ijin beli minum. Habis beli minuman, aku duduk lagi deket mereka, bosan ah, aku masuk lagi ke dalam gedung, foto-foto lagi tentunya. Pengunjung-pengunjung laen yang kebanyakan anak sekolah sibuk nyatet keterangan alat-alat musik itu. Dan aku masih tetap sibuk dengan kameraku. Aku nggak merhatiin sama sekali keterangan alat musiknya. Duh … gimana mau pintaaarr???!!! Xixi … gubraakkk …!!!
Ah, lama-lama motoin alat musik itu aku bosan juga. Aku kan juga kepingin difotoin bareng alat-alat musik itu. Tapi siapa yang mau motoin? Me’do masih ngobrol sama temennya. Ya udah deh, aku sok sibuk sendiri aja di dalam gedung itu. Sibuk ngapain coba? Tuing tuing!
Lama, lama, lama, akhirnya tuh temen Me’do pulang juga. Alhamdulillaaaahhh, xixi. Nah, ini lah waktunya kami pemotretan. Ceilah pemotretan! Entah berapa banyak waktu kami buang-buang waktu sesi pemotretan ini. Yang jelas kami keluar masuk berkali-kali ke dalam Museum cuma gara-gara hasil fotonya nggak sesuai selera. Hedeuhh …!!! Tuh ibu-ibu penjaga buku tamu sampe eneg liat kami, haha ….
Bukan hanya itu, kami malah sembarangan minta tolong sama pengunjung sana buat fotoin kami berdua. Kakakakkakkk, semoga aja tuh orang nggak terserang perasaan eneg sama kami.
Uang Palsu
Yang kuterimaaaa uang paallssuuuu. Hihi, nih virus Ayu Ting Ting dah nyebar kemana kemana, hehe ….
Kalo Ayu Ting Ting dapetnya alamat palsu, aku mah dapetnya uang palsu, huhuhu …. Baru sekali ini aku tertipuuu. Tak taulah aku dapatnya dari mana? Yang pasti, aku baru sadar kalo uang itu palsu waktu aku membelanjakannya di Supermarket. Tuh mbak-mbak kasir sibuk bisik-bisik sama temennya sambil memindahtangankan uang itu.
“Mbak, coba deh pegang uangnya.” Kata Mbak kasir itu akhirnya padaku.
“Ha? Kenapa Mbak?” jawabku pilon.
Aku perhatiin baik-baik deh tuh duit. Kenapa sih dengan uang itu?
Yang pertama terasa janggal adalah warna uang. Warna uang itu lebih menyolok dan luntur. Iya, kayak tinta printer yang luntur kalo kena air sedikit. Lalu aku periksa benang pengamannya. Aneh! Uang itu tak ada benang pengamannya. Hanya tampak seperti print-an benang pengaman duit asli. Kenapa aku baru nyadar sih?! Aku dapatnya di mana coba?! Tapi yang pasti, tuh yang bikin uang palsu ini emang bener-bener nggak ada kerjaan deh. Kalo mau dapet duit yang kerja donk!! Kerja!! Ye, males banget sih!!
Trus, aku rasakan tekstur kertas uang itu. Ah, benar-benar janggal. Kertasnya lebih lembek.
“Ha? Uang palsu yang Mbak.” Aku kaget.
Trus si Mbaknya meriksa tu duit di sinar UV, aku tak begitu nampak.
“Nggak, nggak palsu kok.” Kata si Mbaknya lagi. Ya aku bingung dong.
Trus si Mbaknya nyuruh temennya manggil seseorang. Aku udah ketakutan. Kukira ini si Mbak mau manggil satpam untuk menginterogasiku soal uang palsu itu. Ah, rupanya tu si Mbak manggil temennya. Ia ingin meminta pendapat temennya  soal uang itu. Padahal dia sendiri udah tahu kalau uang itu uang palsu. Dasar aneh!
“Ganti aja ya Mbak uangnya.” Ujar Mbak kasir itu kemudian.
-Sekian-
24  Oktober  2011 – pukul 07.45 pm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sorbonne University

Sorbonne University

Alexandria

Alexandria

Edensor

Edensor

Bunaken

Bunaken